“Oh, jadi sesi edukasi KAP itu, awalnya, ibu hamil hafal-hafalan nama, main topi saya bundar. Lalu main 7 up, lalu ngobrol materi kesehatan, ngobrol kelompok lalu main lagi, terus bumil ditanya-tanya agar mau melakukan perilaku yang disarankan. Begitu, kan?”
Bisa begitu, bisa juga ga begitu.
KAP itu tidak seperti metode perubahan perilaku yang baku-baku amat. Mesti begini, mesti begitu. Pakai alat ini atau pakai alat itu.
Apa permainannya, bagaimana warga belajar materinya, bagaimana mengunci komitmen, bisa dilakukan dengan beragam cara.
Fasilitator akan memilih teknik-teknik yang kira-kira tepat untuk situasi yang berlaku. Atau sesuai dengan gaya atau kebiasaan dia. Modifikasi bukan hal yang diharamkan bahkan dianjurkan bila itu membuat prosesnya lebih baik.
Yang penting, fasilitator paham bahwa ada tiga tahap penting. Pertama, membuat warga tahu apa tujuan pertemuan dan membuat warga dan fasilitator lebih akrab dan nyaman. Tertawa adalah salah satu indikator penting.
Silahkan mainkan permainan apapun yang singkat dan sesuai. Mau lempar lelucon juga boleh. Mau MOP, seperti di Papua, bisa. Pokoknya, buat warga senang. Jangan serius-serius amat seperti di kampus ya.
Kedua, bagaimana membuat warga aktif, bersama-sama belajar. Mereka mesti ngomong, ngobrol, diskusi. Mau pakai lagu, boleh. Mau pakai permainan kelompok, boleh. Mau gerak-gerak, boleh. Mau transect walk. Mau buat body mapping, sah. Mau pakai gambar-gambar buat diskusi, juga boleh.
Yang penting warga dan fasilitator belajar bersama. Indikatornya, warga yang banyak ngomong. Bukan, fasilitator sendirian yang ngomong. Emang, kuliah atau ceramah?
Yang ketiga, bangun dan kunci komitmen warga. Boleh pakai tiga tahap pertanyaan. Boleh dengan salaman ala akad. Boleh cari kesepakatan dan aksi pakai model tulis menulis. Boleh pakai sesi renungan atau tos-tosan. Silahkan dipilih.
Jadi begitu. Sesi edukasi KAP bisa beragam tapi benang merahnya tetap ada, dong.
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia