Pemeriksaan Kesehatan: Tubuh vs Motor

Sumber Foto: Disway.id
Sumber Foto: Disway.id

Kebanyakan orang menyervis motornya secara berkala. Minimal, dalam masa garansi yang dilakukan di bengkel resmi. Padahal kan motornya tidak mogok atau ada tanda-tanda kerusakan?

Pasti karena motornya dipandang sebagai barang berharga atau alat mencari nafkah.

Sebaliknya, sedikit orang sehat mau periksa tubuh secara berkala. Bahkan ketika secara medis sudah dinyatakan ada masalah, orang tidak mudah tergerak.

Contohnya: Orang tua tidak membawa anaknya yang riang, lari-lari ke sana ke mari, ke Puskesmas walau menurut perhitungan, masuk kategori kurus. Kontak erat TBC tidak mau periksa. Orang berisiko gula, misalnya kegemukan, tapi tidak mau periksa darah.

Pada akhirnya, yang kebanyakan yang datang ke Puskesmas adalah orang sakit.

Kalau dibilang barang berharga, tubuh mestinya paling berharga. Kalau dibilang alat mencari nafkah, tubuh paling menentukan, bukan? Tapi mengapa orang menyikapi motor dan tubuh berbeda?

Dari perspektif komunikasi perubahan perilaku, ini persoalan kompleks nan peliks. Butuh upaya lumayan serius mempelajarinya. Secara superfisial, sejumlah faktor perseptual sudah dikenal.

Pertama, persepsi tentang apa itu sehat-sakit. Kebanyakan orang berpatokan pada apa yang dirasakan. Kalau tidak merasa sakit, berarti sehat. Begitu sebaliknya. Makanya, lumayan banyak pasien berhenti minum obat saat tubuhnya terasa sehat.

Kedua, pemeriksaan dan pengobatan hanya buat orang sakit. Cek kesehatan? Memangnya ada masalah apa? Minum obat, emang sakit apa? Makanya, sulit mengajak orang minum pil untuk terapi pencegahan. Sehat kok minum obat?

Ketiga, orang pasti punya penyakit, dan kalau diperiksa (di sarana kesehatan) pasti ketemu satu atau beberapa, lalu mesti berobat. Di sini, pemeriksaan dan pengobatan jadi dipandang satu paket.

Keempat, (nyambung no 3 di atas) tidak semua penyakit mesti diobati. Kalau tidak mengganggu, diamkan atau abaikan saja. Hidup bersamanya atau nanti hilang sendiri. Makanya, untuk apa (memeriksakan diri untuk) mengetahui penyakit yang tidak mengganggu?

Daftar bisa bertambah panjang. Lalu, bagaimana solusinya?

Sebagai awalan, kita bisa belajar dari servis motor.

Bagi banyak orang, servis motor itu bukan untuk mencari penyakit motor tapi untuk meningkatkan performa motor. Makanya, sehabis servis, orang merasa tarikannya lebih menjambak dan enteng kembali. Kalau servis motor bertujuan mencari-cari penyakit (yang tak dirasakan) lalu motornya mesti dirawat, diganti onderdil atau dikasih ini itu, orang pasti ogah.

Jadi, servis motor fokusnya di efek positif (langsung). Pertanyaannya, bisakah kita adopsi pengalaman servis motor untuk pemeriksaan kesehatan? Dan maukah?


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait

Fitur Aksesibilitas