“Waktu diajak imunisasi, si ibu tiba-tiba protes, bicara agak keras, dan menyampaikan imunisasi itu haram, bertentangan dengan agama. Bagaimana ini?”
Mendapati pertanyaan itu, saya balas bertanya, “Kalau dia diam saja, apakah kita tahu apa isi hati dan pikirannya?”
Kan, tidak, toh?
Makanya, orang yang menyampaikan isi hati dan pikirannya, meski ketus, alhamdulillah, jauh lebih baik ketimbang yang diam. Karena kita jadi tahu dan bisa menerapkan cara komunikasi yang sesuai.
Tapi kalau pun, waktu diajak imunisasi, si ibu tiba-tiba diam, buang muka, maka masih ada peluang.
Pertanyaannya adalah. “Sebelumnya, apakah mau ngobrol?”
Kalau ternyata sebelumnya ngobrol santai tentang MPASI, maka alhamdulillah, masih bagus itu. Karena yang tidak disuka hanya salah satu program, bukan program keseluruhan.
Kalau sedari awal si ibu menghindar diajak bicara, jangan-jangan ketidaksukaannya bukan hanya pada satu program tapi pada banyak program.
Kalau pun begitu, ada pertanyaan berikutnya. “Apakah Si Ibu mau diajak ngobrol di luar program atau tentang hal-hal yang dia sukai. Tentang anaknya? Tentang hasil kebunnya? Tentang hobinya?”
Kalau masih mau, alhamdulillah, berarti peluang komunikasinya masih terbuka lebar. Mulai saja dengan obrolan informal (topik yang disukai).
Kalau pun tidak mau bicara dengan obrolan informal, tidak perlu berkecil hati. Masih ada peluang kok. Coba pelajari, “Yang tidak disuka adalah ibu sebagai nakes atau ibu sebagai orang?”
Kalau sebagai nakes, berarti profesi-nya yang tak disuka. Seragam yang membuat orang menghindar.
Coba ganti pakaian. Bukan hanya menanggalkan seragam tapi ubah cara komunikasi. Bercakaplah seperti warga sehari-hari. Cari waktu dan tempat yang pas untuk ngobrol. Perhatikan, apakah si ibu bisa diajak ngobrol? Kalau bisa, alhamdulillah, ternyata yang menjadi masalah hanya seragam saja.
Kalau seragam sudah dilepas, gaya berubah, namun tetap Si Ibu tidak mau bercakap-cakap, mungkin ketidaksukaannya bukan sebatas seragam tapi ke diri kita sendiri. Sudah masuk ranah pribadi.
Mungkin ada hati yang terluka. Karena itu, minta maaflah.
Setelah meminta maaf, jangan dibuat beban. Bila berkesempatan, cobalah memulai obrolan informal. Jangan terlalu berusaha juga. Santai.
Lebih baik menunjukkan perbuatan. Tunjukkan perhatian- kepedulian pada semua. Sampaikan niat kita secara nonverbal. Tidak perlu mengumbar kata-kata. Supaya orang percaya, tujuan kita baik.
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia