Jangan lupa foto ramai-ramai saat PIN Polio

Sumber Foto: Dokumentasi Kader Kesehatan dalam Kegiatan Pin Polio, Kabupaten Sumba Timur, kelurahan Mauhau, NTT
Sumber Foto: Dokumentasi Kader Kesehatan dalam Kegiatan Pin Polio, Kabupaten Sumba Timur, kelurahan Mauhau, NTT
Selain foto, video juga boleh.

Yang penting gambaran ramai-ramai. Orang tua ramai-ramai membawa anak ke tempat imunisasi. Menunggu bersama tapi jangan terlihat boseni. Anak-anak ramai-ramai bergembira di sana. Pulang juga berbarengan. Pokoknya ramai-ramai.

Mengapa ramai-ramai?

Di teori perubahan perilaku ada yang namanya descriptive norms dan injunctive norms. Yang pertama adalah yang orang-orang lain lakukan, yang dapat memotivasi orang melakukan hal yang sama. Yang kedua adalah yang orang-orang lain harapkan kita lakukan, yang dapat membuat orang merasa harus melakukan suatu perilaku.

Survei jaman vaksinasi COVID-19 dulu menyimpulkan 40% orang terpengaruh descriptive norms. Maksudnya, orang-orang ikut-ikutan perilaku orang-orang lain. Following the herd, katanya.

Jadi, di awal masa pemberian vaksinasi, orang-orang diberitahu, disuruh bahkan dalam konteks perjalanan, diberi sangsi, agar mengambil vaksin. Sebagian upaya membawa hasil, namun dampak lebih besar terjadi saat orang-orang tahu mulai banyak orang telah mengambil vaksin.

Mengapa begitu?

Mengapa bukan pesan-pesan efikasi vaksin, bahaya COVID-19 atau keamanan vaksin yang paling memotivasi mereka?

Di masyarakat yang berbudaya oral, seperti kita, apa yang dicontohkan dan diobrolin bersama lebih berpengaruh ketimbang pengolahan pesan secara individual, seberapa pun ilmiah, berbasis data, atau logis pesan individual itu. Dengan kata lain, yang sifatnya sosial emosional lebih kuat mempengaruhi ketimbang yang individual rasional.

Kalau dicontohkan dan diobrolkan (secara positif) ramai-ramai, kekhawatiran efek samping menguap. Dugaan halal haram, terlupakan. Apalagi kalau ramai-ramainya di pesantren.

Gambaran ramai-ramai memotivasi orang secara subtle (halus). Bagi imunisasi yang banyak sisi sensitif, cara halus itu taktis. Apalagi pada mereka yang memiliki tendensi ragu-ragu atau menolak. Sikap menggurui apalagi menyuruh-nyuruh hanya menuai keraguan atau penolakan lebih keras.

Bila testimoni, tunjukkan yang ramai-ramai. Tidak kompak tidak apa-apa. Yang alami apa adanya justru lebih menginspirasi. Yang rapih, seperti diatur, bisa memantik kecurigaan.

Kalau gambarnya anak ditetes, tunjukkan banyak anak mendapatkannya. Kalau tidak bisa satu foto, bisa juga buat montase, kumpulan banyak foto dalam satu frame.

Anak-anak bermain, dapat balon, atau melakukan hal menggembirakan lain juga bisa diambil. Orang tua yang foto ramai-ramai juga bisa.

Pokoknya ramai-ramai. Fokus di orang tua dan anak-anak. Jangan pada para pejabat. Ya, satu dua bolehlah, buat laporan tapi bukan untuk sering disebarkan.


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait