Orang yang belum pernah mengalami mungkin tidak tahu, jadi edukator di kampung sendiri itu acapkali lebih sulit ketimbang edukator di kampung lain.
Sebab utamanya adalah bawaan sejarah alias track record, yang sesama warga tahu sama tahu.
“Lha, anaknya saja suka makan ciki-ciki. Kok sekarang ngajarin gizi seimbang?”
“Sok, tahu. Ngerti apa sih dia? “
Faktor itu pula yang membuat sejumlah edukator di kampung sendiri seperti kader kesehatan suka tidak pede duluan. Membayangkan bagaimana reaksi tetangga-tetangganya saat dia berdiri mengajar di depan mereka adalah beban tersendiri.
Lantas bagaimana jalan keluarnya? Terutama bila kebetulan pasukan komunikator kampung sendiri tidak memiliki track record yang kurang mendukung?
Komunikasi yang rendah hati dan lebih relasional ketimbang instrumental. Jadi, ketimbang muncul sebagai sosok pengajar, yang nantinya malah dipandang sok tahu atau muna, lebih baik menyusupkan pesan secara halus dengan rendah hati. Sampai-sampai warga tidak merasa diajari.
“Ibu-ibu hamil, saya sebetulnya kurang paham juga tapi kemarin di pertemuan di Puskesmas, bidan gizinya bilang kalau minum TTD jangan barengan sama teh, susu atau kalsium. Katanya ya, katanya, nanti TTDnya kalah, tidak bisa diserap tubuh. Jadi sia-sia kita minumnya.”
Itu contoh menyampaikan dengan teknik me-referensi-kan, supaya fokus ke pesan dan sosok edukatornya jadi tidak penting.
Selain itu, proses partisipatif juga penting. Semua jadi guru, semua jadi murid. Demikian kata-kata kawan saya saat membuka pertemuan. Dengan demikian, warga pun boleh mengajar edukator seperti kader.
Kan tidak apa-apa. Selain warga semakin semangat, kitanya juga jadi hemat (tenaga pikiran).
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia