Dalam komunikasi untuk kampanye sebuah program, perlu dilakukan riset kecil, emosi-emosi apa yang memicu warga untuk melakukan perubahan perilaku. Atau minimal membuat warga memiliki persepsi yang tepat untuk kampanye program yang akan kita lakukan.
Jika diamati fenomena di masyarakat soal “cek-cek” atau “periksa-periksa,” ada dua pola yang menarik:
1. Cek karena penasaran
Fenomena ini muncul pada orang yang gemar mengecek hal-hal seperti zodiak, khodam, MBTI, atau tipe kepribadian. Orang melakukan “cek” ini bukan karena ada masalah, tetapi karena ingin tahu identitasnya dan membenarkan keyakinannya. Misalnya, setelah mengetahui hasilnya, seseorang bisa berkata, “Oh, pantesan saya nggak cocok sama X, karena saya Z.”
2. Cek karena curiga
Fenomena ini terjadi ketika seseorang merasa ada potensi masalah. Misalnya, orang yang hendak mudik akan mengecek tekanan ban, atau sebelum keluar rumah memastikan kompor sudah mati. Orang melakukan “cek” ini karena khawatir sesuatu tidak berjalan dengan baik—entah itu kompor masih menyala, atau ban yang mungkin bocor.
Lalu, bagaimana dengan cek kesehatan di Indonesia?
Jika melihat masyarakat saat ini, cek kesehatan tidak masuk ke perilaku cek-cek karena keduanya. Sebagian besar cek kesehatan dilakukan karena kewajiban institusional, bukan karena kesadaran pribadi. Misalnya, karyawan melakukan medical check-up karena diwajibkan oleh kantor, atau mahasiswa melakukan pemeriksaan sebagai syarat administratif. Apalagi cek kesehatan bukan kebutuhan primer masyarakat Indonesia. Dan kecenderungannya cek kesehatan dilakukan saat sudah sakit, atau bahkan persepsinya kegiatan ini dilakukan untuk ‘orang mampu’.
Sehingga motivasi pencegahan masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah konsep sehat-sakit yang diyakini masyarakat. Banyak orang menganggap dirinya sehat selama tidak ada keluhan. Jika merasa tidak sakit, maka tidak ada alasan untuk melakukan cek kesehatan.
Lalu, bagaimana cara coba mengomunikasikannya ?
Salah satu pendekatan yang bisa digunakan adalah mengubah fokus dari “cek kesehatan” menjadi “cek penyakit.”
Karena banyak orang tidak merasa perlu memeriksa kesehatannya, justru yang lebih relevan adalah menawarkan cek untuk memastikan apakah ada penyakit tertentu. Jika ada risiko penyakit, itu bisa menjadi motivasi yang lebih kuat untuk melakukan pemeriksaan.
Pendekatan ini mungkin lebih sesuai dengan pola pikir yang sudah ada di masyarakat—mereka lebih terdorong untuk bertindak ketika ada kecurigaan terhadap sesuatu yang berpotensi salah, daripada hanya sekadar memeriksa kondisi kesehatan secara umum.
Diksi ‘Cek Penyakit’, memiliki nilai tawar lebih yang memicu masyarakat seperti di Indonesia, untuk melakukan perubahan perilaku.
Penulis: Firdza Radiany dan Natanael, Pandemic Talks