Di lapangan, edukasi model KAP lebih banyak mengambil format selipan atau menumpang. Tidak ada sesi pertemuan khusus yang lama, berjam-jam atau berhari-hari, dengan mengundang warga secara khusus.
Selipan atau menumpang artinya ikut dalam kegiatan yang sudah ada. Kegiatan Posyandu sebulan sekali. Kelas Ibu hamil. Musyawarah warga. Kunjungan rumah saat PSN. Pemberian layanan kesehatan atau kegiatan lainnya.
Karena menumpang, tempatnya pun mengikuti saja. Kalau Posyandu-nya di gang, maka edukasinya pun di gang depan. Kalau di balai RW, maka edukasinya pun di sana.
Karena menumpang, durasinya harus tahu diri. Sebentar saja. Di Posyandu, sekitar 10 – 20 menit. Di kelas ibu hamil, yang berlangsung 2 jam, juga sekitar 10 – 20 menit. Waktu musyawarah warga yang padat agenda, mungkin 5 menit dengan kamuflase berbentuk sesi ice breaking atau energizer. Saat kunjungan rumah, mungkin 3-5 menit, berbentuk obrolan, konsultasi atau lainnya. Saat pemeriksaan di layanan kesehatan, 2-3 menit dengan obrolan singkat atau cerita.
Karena menumpang, warga tidak disiapkan. Mereka tidak pula diberi uang duduk.
Artinya, kalau bagi mereka menarik, sesi edukasi akan diikuti. Kalau tidak, bubar jalan.
Karena itu, sesi edukasi KAP mesti dibantu dengan tools atau skenario KAP, terutama untuk memandu komunikator baru, termasuk kader, nakes dan apalagi komunikator di luar sektor kesehatan (seperti penyuluh agama dll.).
Stok lagu, yang mudah dinyanyikan, mesti siap. Demikian juga dengan produk budaya lisan lainnya seperti cerita atau pantun.
Untuk menjelaskan pesan abtsrak pada warga yang awam, perumpamaan-perumpamaan untuk berbagai isu mesti tersedia. Demikian juga dengan teknik-teknik percakapan dalam berbagai situasi (emosional, penolakan, kengganan, dll).
Tidak lupa, permainan-permainan menyenangkan untuk edukasi kelompok, termasuk permainan pemanasan dan permainan pembelajaran.
Di tengah kelangkaan sumber daya untuk edukasi lapangan, harapannya model KAP tidak memberatkan program (dari sisi pendanaan) dan tidak pula memberatkan warga (karena tidak mengambil banyak waktu mereka).
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia