Strategi Komunikasi Berhenti Merokok: Belajar dari Merokok

Sumber gambar: flickr
Sumber gambar: flickr

Komunikasi berhenti merokok umumnya mengedepankan pesan bahaya merokok dan tips berhenti merokok. Di lain pihak, statistik mengatakan jumlah perokok bertambah. Dalam 10 tahun terakhir bertambah 8,8 juta orang, dari 60,3 juta pada 2011 menjadi 69,1 juta perokok di 2021 (Global Adult Tobacco Survey – GATS). Rasanya, ini tanda untuk melihat kembali strategi komunikasi yang ada.

Belajar dari para perokok kita memahami merokok memiliki 2 pilar kuat, 1) perilaku sosial, artinya merokok dimulai dengan dukungan/ desakan/ contoh lingkungan sosial seseorang dan dipelihara faktor yang sama, dan 2) manfaat individual yang instan/ jangka pendek, seperti kenikmatan/ manfaat ketenangan, kecepatan berpikir, dll.

Dua pilar itu, ketagihan dan di lain pihak, didukung masyarakat, membentuk perilaku kokoh. Karenanya, merokok lebih sulit diubah dibanding perilaku lain, semisal yang tak membuat ketagihan tapi didukung kuat norma (umumnya perilaku baik, seperti ibadah) atau kebalikannya, yang membuat ketagihan tapi ditolak masyarakat (perilaku kriminal).

Strategi yang ada juga sulit mengubahnya karena fokus pada individu (asumsi individu rasional bisa memutuskan yang benar bagi dirinya), padahal perilaku merokok itu sosial. Pesan bahaya merokok, yang jangka panjang, entah kapan, juga sulit menandingi manfaat instan dari merokok.

Sebagai ide alternatif, bagaimana kalau kita manfaatkan pilar yang sama dengan perilaku merokok, yaitu 1) norma sosial, 2) manfaat jangka pendek, dan ditambah 3) keterampilan mengurangi adiksi/ ketagihan? Berikut contoh aplikasinya di sekolah.

Norma sosial Ketimbang langsung mengedukasi siswa perokok, lebih baik membangun kelompok non-perokok yang peduli bahaya merokok. Seperti halnya kerja pengorganisasian komunitas, secara bertahap perlu dibangun kelompok kecil sebagai inti, para penggiat, dan para simpatisan/ pendukung.

Mereka nantinya mengadvokasi pihak berwenang untuk dukungan kegiatan-kegiatan intervensi perubahan perilaku. Mereka juga akan berdialog/ bermusyawarah dengan para perokok untuk menyepakati sesuatu (norma bersama) atau mengenalkan kegiatan berhenti merokok.

Kegiatan dengan manfaat jangka pendek Kegiatan-kegiatan berhenti merokok harus menyediakan insentif, penghargaan, hadiah atau hal positif lainnya segera atau dalam jangka waktu terukur bagi mereka yang berupaya berhenti merokok. Yang dimaksud, bisa hal kecil, seperti memberi apresiasi/ jempol saat perokok tidak merokok. Bisa juga kegiatan seperti lomba berhenti merokok antarperokok dengan hadiah/ insentif/ perhargaan tertentu (misalnya berhenti selama 1 hari, 3 hari dst. Kita bisa manfaatkan kerangka waktu pengurangan adiksi nikotin, yaitu 72 jam dan terlama 3 bulan.)

Keterampilan berhenti merokok Untuk mengatasi adiksi, perokok mesti dibekali teknik-teknik mengubah perilakunya. Pilihannya banyak, seperti penguatan kontrol diri (misalnya, tidak reaktif terhadap keinginan merokok tapi menunda beberapa saat dan secara bertahap mengontrol waktu dan frekuensi merokok), nudge (misalnya membuat merokok agak sulit, seperti meletakkan bungkus rokok jauh di dalam tas atau di tempat yang butuh extra effort; tak bawa korek atau lainnya), memasukan “program” baru ke pikiran, mengubah identitas diri, menguatkan perilaku kontra atau lainnya) dan lain sebagainya.


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait