Siswa-siswi di sekolah bukan hanya bisa menjadi penerima manfaat, tapi bisa juga pemberi manfaat. Bukan sebagai objek, tapi subjek. Bukan hanya sebagai khalayak, tapi komunikator.
Siswa bisa menjadi edukator teman sebaya (peer educator). Di sini, siswa mengedukasi siswa lain di sekolah atau kawan di lingkungan rumah (child to child education).
Siswa pun bisa jadi edukator bagi orang tua mereka sendiri (child to parent education). Bisa juga, edukasi pada orang dewasa di lingkungannya (child to adult education).
Semua itu dengan catatan, edukasi diformulasikan sesuai budaya yang berlaku. Edukasi seorang siswa ke siswa lain tidak bisa dilakukan dengan ceramah, yang sebetulnya menandakan hubungan diametral (komunikasi dari pihak yang lebih tahu ke yang tidak tahu).
Hubungan antar-siswa itu setara sebagai teman sepermainan. Sikap siswa sebagai pendidik sebaya yang sok tahu justru kontraproduktif karena akan menimbulkan penolakan siswa lain.
Sebagai teman sepermainan yang setara, edukasi teman sebaya mesti dilakukan dengan nuansa permainan yang kental. Permainan fisik yang lucu dan kompetitif. Yang akan dengan semangat diikuti siswa-siswi.
Selain permainan-permainan fisik, lucu, dan kompetitif, baik secara berkelompok atau individual, edukator teman sebaya juga menggunakan permainan koginitif ringan seperti tebak-tebakan atau cerita-cerita.
Edukasi siswa ke orang tua juga sangat kental budaya. Di budaya kita sulit menerapkan model yang memposisikan siswa sebagai pihak yang memiliki hak berpendapat, apalagi mengedukasi orang tua secara terang-terangan.
Namun, edukasi anak ke orang tua hanya masalah pendekatan saja. Ketimbang menceramahi orang tua, banyak metode lain yang lebih halus dan mudah diterima, seperti pemberian Pekerjaan Rumah (PR) (untuk dikerjakan bersama orang tua), meminta nasihat, atau sekedar berbagi cerita pengalaman.
Semuanya itu adalah edukasi secara halus alias tidak terasa karena sebetulnya pada kesempatan itu siswa menyampaikan suatu pesan pada orang tua.
Pada kelompok orang dewasa di lingkungan, anak bisa menyebarkan pesan-pesan melalui kegiatan wawancara/ survei atau konsultasi/ minta/ arahan/ masukan yang dikenalkan sebagai tugas sekolah. Sambil melakukannya, anak sebetulnya hendak menyampaikan pesan atau bahkan mengoreksi sikap atau perilaku orang dewasa.
Banyak peluang bagi siswa agar menjadi edukator yang membawa manfaat bagi masyarakat luas. Salah satu kunci yang perlu diperhatikan adalah budaya komunikasi yang berlaku di masyarakat.
Penulis: Risang Rimbatmadja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia