Survei UNICEF Nielsen Q3 2024 menanyakan pada 2000 responden di 6 kota besar, apakah penyakit-penyakit berikut menular, tidak menular, atau keturunan?
Yang ditanyakan adalah penyakit-penyakit yang berdampak cukup serius. Temuannya, sebagian mengonfirmasi dugaan selama ini tapi ada juga yang mengejutkan.
TBC misalnya. Stigma kuat di masyarakat banyak bersumber dari ketakutan akan penularan. Dalam survei juga ditemukan TBC paling banyak dipandang sebagai penyakit menular.
Yang mengejutkan: cukup banyak yang memandang DBD, diare berat, dan lumpuh layu sebagai penyakit tidak menular.
Tak kalah mengejutkan, mayoritas memandang diabetes sebagai penyakit keturunan. Mayoritas juga belum pernah mendengar penyakit pneumonia, si pembunuh banyak bayi.
Untuk leptospirosis dan sirosis hati, sudah diduga: belum banyak yang tahu.
Untuk apa sebetulnya kita menanyakan apakah penyakit itu menular, tidak menular atau keturunan?
Persepsi orang tentang penyakit memandu bagaimana perilaku orang, khususnya perilaku pencegahan. Bila suatu penyakit dipandang sebagai penyakit keturunan, maka orang tak akan banyak berbuat karena tidak ada yang bisa diperbuat. Bila dipandang sebagai penyakit menular, maka orientasinya berfokus pada pihak eksternal atau lingkungan. Bila suatu penyakit dipandang sebagai penyakit tidak menular, orang tidak akan berorientasi pada orang lain atau lingkungan tapi (seharusnya) akan melihat diri sendiri sehingga lebih memperhatikan perilaku-perilaku hidup sehatnya.
Persepsi memang tidak langsung menentukan perilaku. Orang yang memandang stroke penyakit tidak menular tidak lantas lebih memperhatikan perilakunya. Namun, memahami peta persepsi orang memudahkan kita merancang pesan dan proses edukasi dan persuasi.
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia