Menjelaskan Kehalalan Vaksin: Perumpamaan & Perbandingan

Menjelaskan Kehalalan Vaksin Perumpamaan & Perbandingan

Kalau bukan ahli agama, ustad atau ustadzah, komunikator perlu berhati-hati merepon warga yang mempertanyakan kehalalan vaksin dengan narasi agama. Semisal, komunikator menyampaikan An-Nisa 9, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah…” Lalu, ada warga menanggapi. “Lho, lemah itu kan dalam urusan aqidah? Bisa dijelaskan itu tafsir siapa?”

Nah, lho. Bisa mati kutu komunikatornya.

Untuk komunikator awam, disarankan menggunakan pendekatan lain. Salah satunya, metode yang menggunakan cara lebih halus, misalnya dengan perumpamaan dan perbandingan kasus mirip.

Yang pertama perlu komunikator lakukan adalah mendengarkan. Saat warga mempertanyakan atau bahkan menolak karena isu kehalalan vaksin, jangan reaktif atau terburu-buru menjelaskan atau meluruskan. Tapi tanyakan, apa yang ibu/ bapak dengar? Dengar dari mana? Bagaimana katanya? Boleh ceritakan?

Kedua, komunikator perlu mengapresiasi. “Bapak ternyata orang tua yang memperhatikan sekali urusan agama. Bagus itu.” Atau, “Ibu ini sangat hati-hati dengan kehalalan, ya. Bagus itu!”

Dengan mengapresiasi, komunikator menunjukkan dirinya tidak egois, self-centered atau orang yang memikirkan diri sendiri tapi sebaliknya, mendengarkan dan menghargai lawan bicara. Kalau lawan bicara merasa dihargai, maka saat giliran komunikator berbicara, di atas kertas, dia akan balas menghargai dengan mendengarkan komunikator.

Yang ketiga, minta ijin untuk menjelaskan. Setelah di-iya-kan, komunikator dapat menggunakan perumpamaan dan perbandingan.

“Ibu-bapak, saat telur baru keluar dari pantat ayam, apakah ada najisnya? Ada, kan? Tapi apakah najisnya kita makan, masuk ke dalam tubuh kita? Tidak, kan? Karena najisnya sudah kita bersihkan sampai bersih dari telur ayam.”

“Demikian juga dengan vaksin. Ada beberapa vaksin, tidak semua, yang wadahnya menggunakan bahan yang mengandung najis. Tapi apakah bahan najis itu masuk ke dalam tubuh anak? Tentu tidak karena sudah dibersihkan terlebih dahulu.”

“Seperti vaksin meningitis yang digunakakan saudara-saudara kita, orang tua kita, dan guru-guru kita ke tanah suci untuk melaksanakan haji atau umroh. Vaksin meningitis itu jadi seperti wajib. Karena kalau belum divaksin, tidak boleh masuk ke Saudi Arabia. Tapi apakah bahan najisnya masuk ke dalam tubuh saudara-saudara kita, orang tua kita atau guru-guru kita? Tentu tidak karena sudah dibersihkan terlebih dahulu. Sehingga yang dimasukkan ke dalam tubuh tidak mengandung najis.”

Karena menyangkut keyakinan, warga belum tentu mengubah sikapnya secara instan. Mereka perlu waktu berpikir dan menimbang-nimbang. Untuk itu, yang paling penting adalah pesan-pesan komunikator didengarkan dulu alias tidak mendapatkan penolakan dini. Nah, metode di atas maksudnya begitu.

WTC 2, 8 Januari 2024 – RR


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait