Mengubah Persepsi Mendasar Imunisasi

Sumber Foto: Tim Jaga Bersama, Portkesmas - UNICEF Indonesia
Sumber Foto: Tim Jaga Bersama, Portkesmas - UNICEF Indonesia

Keengganan atau penolakan orang tua terhadap imunisasi mestinya berakar dari persepsi tertentu. Kegagalan memahami dan meresponnya membuat edukasi tidak nge-klik alias jaka sembung main golok, tidak nyambung, mpok.

Sementara, memahami persepsi orang juga tidak mudah. Survei kuantatif berbasis wawancara terstruktur biasanya menghasilkan jawaban di tingkat permukaan, seperti: takut anaknya sakit, demam, lumpuh atau meninggal. Padahal, jawaban-jawaban itu tidak menggambarkan persepsi mendasar orang terhadap imunisasi.

Persepsi mendasar itu ibarat fondasi di mana dinding, atap dan struktur rumah lainnya berdiri. Persepsi mendasar banyak menentukan bagaimana sikap dan perilaku yang terbentuk.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana persepsi mendasar orang terhadap imunisasi, yang kemudian menghasilkan kekhawatiran di kalangan orang tua? Juga, bagaimana pesan untuk menetralisir?

Berikut ini bukan hasil riset ilmiah, karena berasal dari obrolan-obrolan tidak terencana. Anekdotal.

Orang tua tampaknya memandang imunisasi sebagai (upaya) memasukkan suatu zat ke dalam tubuh anak, yang mana zat itu berdiam diri dalam tubuh anak dan bekerja mengebalkan dari serangan bibit penyakit yang masuk ke tubuh anak. Seperti memasukkan perisai atau semacam susuk.

Karena kemasukan zat asing, maka orang mudah berpikir imunisasi berbahaya. Baik dalam jangka pendek mapun panjang. Karena itu pula, hoaks yang mengangkat bahaya jangka panjang, seperti kemandulan, kanker, atau kematian, mudah diterima.

Lantas, bagaimana menetralisir persepsi itu?

Salah satu contoh pesan dari buku Cerita Imunisasi (Forum KAP-RCCE 2024) menggambarkan imunisasi sebagai latihan para pendekar yang ada dalam tubuh anak. Para pendekar adalah karunia Tuhan untuk menjaga anak dari serangan bibit penyakit. Jadi, anak tidak ditinggalkan sendirian tanpa perlindungan. Kalau Tuhan menciptakan anak tanpa pendekar, anak pasti sedikit-sedikit sakit. Makan makanan kotor sedikit, sakit. Pegang benda sedikit kotor, sakit. Namun, karena ada barisan pendekar, maka bibit yang masuk ke tubuh anak dapat dikalahkan.

Pertanyaannya kemudian, apakah pendekar bisa menjadi jago tanpa latihan?

Jelas latihan diperlukan pendekar agar jago. Latihan adalah kebutuhan.

Nah, imunisasi membantu latihan karena menyediakan lawan tanding bagi para pendekar berlatih, yaitu vaksin atau bibit penyakit yang sudah dilemahkan atau dilucuti senjatanya. Berlatih bersama lawan yang telah disiapkan itu aman karena dia mudah dikalahkan. Jurus lawan tanding pun dikuasai para pendekar. Sementara, lawan tanding sendiri mati lalu terbuang bersama tinja atau urin. Setelah menguasai jurus lawan, jika bibit penyakit yang sama masuk, seganas apapun, mudah dikalahkan.

Dengan pesan di atas, persepsi yang diharapkan terbentuk adalah imunisasi dibutuhkan bagi para pendekar berlatih. Vaksin tidak menetap. Namanya latihan, sementara sifatnya. Setelah latihan akan keluar. Jadi, masa latihan tidak boleh?


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait