Mencegah Penolakan Dini

Mencegah Penolakan Dini

Belum selesai menjelaskan. Mulut masih mangap, eh petugas imunisasi mendapat penolakan. Bahkan, ada yang kasar, seperti dialami seorang nakes.

“Kalau ibu ngomong tentang MR, saya lempar ke jendela!” kata pak Kades sambil roko’an.

Itu adalah penolakan dini. Termasuk di dalamnya: pergi/ pulang duluan saat pertemuan, pintu tertutup rapat, menyuruh pergi, dihadang di tengah jalan, tak datang saat diundang, menghindar, dll.

Lantas, bagaimana mencegahnya?

Pada kelompok warga yang dicurigai memiliki predisposisi menolak, perlu pendekatan tertentu. Mungkin indirect, implicit, zooming out atau entertaining.

Indirect maksudnya tidak to the point. Kalau komunikasi individual, misalnya, obrolan informal. Intinya, komunikator jangan langsung cuma jualan. Ngobrol dulu tentang topik lain yang disukai lawan bicara.

Misalnya, saat petugas imunisasi berkunjung ke rumah warga dan melihat ada foto anak muda gagah berseragam tentara tergantung di atas pintu, tanya-tanyalah. Siapa itu? Tugas di mana? Bagaiamana bisa masuk tentara? Apa suka dukanya? Dll.

Kalau lihat tumpukan pancingan, coba obrolin kegiatan memancing. Kalau kebetulan mendengar anaknya juara pidato, coba ngobrol tentang anaknya. Kalau terdengar rencana umroh, coba tanya-tanya tentang rencananya itu. Jadi, mulai dengan topik yang lawan bicara sukai. Jangan egois memaksa topik disukai atau menjadi penugasan komunikator.

Dalam konteks komunikasi kelompok, indirect bisa dilakukan dengan mendiskusikan hal lain yang penting bagi warga kebanyakan lalu bertahap masuk ke topik penugasan.

Implicit maksudnya tidak telanjang atau langsung terdengar/ terlihat tapi ada kandungan pesan-pesan yang diharapkan. Seorang tokoh agama yang ingin mengedukasi warga, yang anti imunisasi, sebaiknya tidak konfrontatif agar tak dijauhi. Hindari menyebut istilah imunisasi bila itu membuat warga reaktif atau hilang kepercayaan. Sebagai pengganti, gunakan pengebalan tubuh atau lainnya.

Zooming out adalah melihat hal yang lebih besar, yang bisa diterima bersama. Ketimbang mengundang warga untuk edukasi imunisasi, sampaikan saja edukasi agar anak tidak mudah sakit. Pembahasannya pun jangan eksklusif tentang imunisasi tapi cara-cara yang lebih komprehensif (di mana masing-masing memiliki peran khas).

Terakhir adalah entertaining. Menghibur. Makanya disebut edutainment atau education entertainment. Ajak bergembira sambil belajar. Buat orang tertawa dan senang. Saat perasaan bahagia, orang lebih membuka diri. Penolakan diri pun terhindar. Teori sih tapi lumayanlah ketimbang tidak ada bekal sama sekali.


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait