Warga bersama-sama menolak vaksinasi. Tanda tangan ditorehkan di surat. Surat dibawa kepala desa ke dinkes. Alasannya, mereka mengatakan di desa tidak ada penyakit yang dimaksud.
Mereka memandang tidak akan terkena penyakit itu. Ini namanya perceived susceptibility.
Survei berkala UNICEF-Nielsen acapkali menemukan faktor ini sebagai hambatan perilaku vaksinasi. Satu faktor ini saja muncul, maka keberadaan faktor-faktor positif lain jadi kurang berguna.
Misalnya dalam EPPM – Extended Parallel Process Model, agar mengubah perilaku, orang harus merasa takut terhadap penyakit dan di waktu sama, memandang perilaku pencegahan mudah dilakukan.
Seperti pesan neraka-surga dalam agama. Neraka dibuat menakutkan, jangan diringan-ringankan tapi di lain pihak, surga digambarkan mudah dimasuki. Hanya tinggal begini begitu saja.
Untuk ketakutan, orang mesti takut pada keseriusan/ keparahan penyakit (perceived severity). Misalnya, penyakit membuat lumpuh, mematikan, dan tidak bisa disembuhkan. Tapi di samping itu, mereka mesti takut bisa terkena penyakit itu (perceived susceptibility). Nah, yang kedua ini yang hilang di masyarakat yang menolak itu.
Kalau orang takut dengan keparahan penyakit tapi memandang dia tidak akan terkena, maka ketakutan itu tidak bermanfaat untuk perubahan perilaku.
Lantas, bagaimana menaikkan persepsi bisa kena (perceived susceptibility)?
Jawabannya, jelaskan bagaimana penyakit bisa mencapai mereka. Jelaskan jalur dan masifnya penularan. Untuk polio misalnya:
1 anak kena berarti ada 200 yang kena. Yang lumpuh memang 1 dan 8 radang selaput otak tapi semuanya, ke-200 orang itu bisa menularkan penyakit. Menularkannya melalui tinja yang masuk ke mulut orang. Misalnya, pupup lalu tidak cuci tangan pakai sabun. Tangan pegang makanan, uang, benda, lalu semua itu dipegang orang lain dan orang itu menyentuh dan memakan makanan, maka berpindahlah virusnya.
Berapa banyak orang yang cuci tangan pakai sabun? Survei mengatakan sedikit sekali. Di kelompok ibu-ibu balita saja hanya sekitar 5%.
200 orang itu menularkan selama 2 bulan. Waktu yang lama. Tidak seperti COVID-19 yang kurang dari 14 hari, orang yang mengandung virus polio menularkan selama 2 bulan.
Kemana saja orang-orang itu selama 2 bulan? Sebagian tentu ke luar kota. Apakah warga hanya beraktivitas di wilayah desa saja? Apakah ada warga yang ke luar kota?
Konsepnya atas. Operasionalisasinya bisa pakai gambar, cerita, ngobrol, rekaman audio, permainan atau lainnya.
Itu kalau masalahnya penyakit dipandang jauh. Kalau karena mereka memandang sudah melakukan ini itu (misalnya, anak sudah vaksin polio sebelumnya), maka taktik pesannya tentu berbeda.
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia