Melengkapi Buku KIA dengan Edukasi ala Tradisi Oral

Melengkapi Buku KIA dengan Edukasi ala Tradisi Oral

Memangnya masalah buku KIA hanya masalah konten? Kurang lengkap ini itu atau belum ada info ini itu? Atau kata-kata ini sulit perlu direvisi? Atau gambarnya kurang warna ini itu?

Jadi teringat pertemuan evaluasi subpin polio beberapa waktu lalu. Ada ahli yang mengatakan kalau saja orang tua balita membaca Buku KIA dan memahaminya, bereslah sudah urusan kesehatan Indonesia. Informasi di Buku KIA kan sudah lengkap selengkapnya.

Nyaris semua ibu hamil dikasih Buku KIA. Jadi, hampir semua orang tua memilikinya. Tapi kok masalah kesehatan masih ada?

Tulisan ini tidak mau masuk ke urusan konten tapi yang jelas urusannya bukan hanya konten. Mau tulisan gambar diubah begini begitu tapi kalau tidak dibaca, bagaimana?

Ini urusan cara belajar orang Indonesia. Kita ini berakar dari tradiri oral, bukan tulisan. Makanya, perpus di kampus-kampus banyak mahasiswa yang ngobrol, tidak seperti di Barat, yang tenang karena tradisi baca/ tulisannya kuat. Di tradisi oral, cara belajarnya ngobrol sama-sama, setidaknya berdua atau ada lawannya. Di tradisi baca, membaca sendiri-sendiri.

Sifat kedua model itu tidak zero sum atau substitutif tapi komplementer. Ada yang dominan.

Singkatnya, buku KIA mesti dibarengi dengan panduan yang membantu edukasi ala tradisi oral. Bentuk proses belajarnya bisa beragam. Contohnya:

Proses belajar high cognition (rasional)
Dibacakan – Diterangkan
Dibaca sendiri-sendiri – Dibahas

Proses belalajar low cognition(emosional sosial)
Didongengkan – Diobrolkan
Dinyanyikan – Diobrolkan
Diperagakan – Dirobrolkan
Dimainkan – Diobrolkan
Dibayang-bayangkan – Diobrolkan

Bisa juga diberi bumbu (tambahan proses): diulang-ulang untuk dihafal-hafalkan, dilombakan diberi tanda gerakan khas, dibekali teknik mengajak (isu imunisasi misalnya, ada persoalan suami melarang), dan dikebalkan (dari hoaks).

Pilihan tradisi oral cukup beragam. Seberagam budaya nusantara. Tinggal pilih. Mau kembangkan lagu, dongeng, puisi, salawatan, permainan, pantuan atau apa?

Ngotak ngatik konten (tulisan), boleh saja. Saban tahun juga boleh. Tapi kalau hanya itu, mau sampai kapan?


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait