Adakalanya lupa menjadi alasan warga saat tidak melakukan suatu perilaku sehat. Sebagai komunikator, jangan langsung “percaya” terhadap jawaban itu karena artinya bisa beragam. Masing-masing memiliki intervensinya sendiri. Berikut adalah hipotetis dan ilustrasi intervensi secara singkat untuk dua jenis lupa.
Lupa beneran
Di sini warga benar-benar lupa tapi sebetulnya sudah memiliki keinginan dan kemampuan untuk melakukannya. Untuk yang begini, intervensi model nudge bisa dilakukan.
Tergantung apa yang lupa, nudge atau dorongan lembut bisa dilakukan dalam rangka mengingatkan warga (misalnya, terkait waktu atau tempat). Seperti yang dilakukan para praktisi nudge umumnya, pengingat itu dilakukan dengan investasi rendah dan banyak fokus di pemberian tanda, teks singkat, warna, ornamen, audio, atau bentuk lain di lingkungan atau benda sekitar warga.
Misalnya, pada orang yang suka lupa cuci tangan pakai sabun, di tempat cuci tangan dikasih gambar anak kecil yang melotot. Atau obat yang mesti diminum dua kali tiap hari ditaruh di wadah berisi kotak-kotak waktu/ hari berbeda.
Pilihan lain adalah mencoba membuat warga ingat dengan model FBM (Fogg Behaviour Model). Di sini warga mengikuti proses berulang untuk membentuk kebiasaan (habit) agar perilakunya menjadi otomatis, yaitu menentukkan panggilan perilaku (signal/ cue), melakukan perilakunya sendiri, dan selerbrasi atau syukur.
Pilihan lain, terutama untuk mengingatkan perilaku jangka panjang adalah model oral, misalnya dalam bentuk lagu, dendangan, pusisi, cerita yang bisa dilakukan berulang-ulang. Seperti dendangan Smong di Simeulue yang dibuat tahun 1907 untuk mengingatkan warga akan bahaya Tsunami. Karena warga tahu tanda-tanda Tsunami dan apa yang perlu dilakukan, saat Tsunami 2004 korbannya 7 dari 78 ribu penduduk.
Lupa karena tidak suka
Orang bilang lupa bisa juga karena sikap negatif. Lupa menjadi cara berkomunikasi sederhana yang menghindari konflik. Untuk lupa begini, komunikator perlu membangun kepercayaan, memahami lebih dalam apa dibaliknya, dan setelah itu, barulah bisa diusulkan sikap alternatif.
Pendekatan konfrontatif yang mencoba meruntuhkan bangunan sikap seseorang sebaiknya bukan pilihan utama. Karena acapkali, hasilnya bukan saling memahami tapi malah saling mencurigai.
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia