Komunikasi Publik untuk PHBS, Diperlukankah?

Sumber: Tribun Pekanbaru
Sumber: Tribun Pekanbaru

Bagaimana strategi komunikasi publik untuk PHBS (Perilaku Hidup Bersih Sehat)?

Ini pertanyaan utama dari panitia untuk presentasi via zoom di rapat koordinasi PHBS suatu provinsi.

Menjawabnya, paparan slide #1 saya berisi ide: dalam rangka perubahan perilaku di masyarakat tidak perlu ada komunikasi publik tentang PHBS. Tidak perlu ada baliho besar yang berisi PHBS dengan 10 pesan/ indikator:
1) persalinan ditolong nakes, 2) ASI Eksklusif, 3) Menimbang bayi, 4) Gunakan air bersih, 5) Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS), 6) Jamban sehat, 7) Berantas jentik nyamuk, 8) Makan makanan sehat, 9) Aktivitas fisik setiap hari, dan 10) Tidak merokok.

Tidak perlu ada spanduk, poster atau pun leaflet.

Alasannya sederhana, yaitu tidak akan efektif dan tidak pula efisien.

Agar efektif, komunikasi perlu berorentasi pada khalayaknya. Maksudnya, strategi pesan, saluran, dan kegiatan perlu menyesuaikan dengan khalayak sasaran. Pesan Tablet Tambah Darah (TTD) untuk remaja putri jelas berbeda dengan yang buat ibu hamil. Jangan bicara manfaat persalinan lancar untuk mempersuasi remaja putri meminum TTD. Bagi remaja, lebih pas bicara manfaat Vitamin B9 (asam folat) yang ada juga dalam TTD untuk kesehatan otak atau bahkan mental, yang banyak jadi concern remaja jaman sekarang.

Perilaku yang sama saja perlu dikomunikasikan dengan berbeda pada khalayak yang berbeda. Nah, apalagi PHBS ini yang berisi ragam perilaku untuk khalayak yang berbeda. Sebagian perilaku tidak relevan bagi khalayak tertentu. Pesan tentang persalinan ditolong nakes jelas tidak relevan bagi anak sekolah, lansia atau kelompok-kelompok lainnya. Untuk apa mereka diberitahu tentang itu?

Mengomunikasikan PHBS dengan 10 pesan/ indikatornya ke publik sulit membawa hasil.

Yang justru diperlukan adalah komunikasi yang fokus di perilaku-perilaku yang dikandung PHBS. Dan komunikasi itu perlu didesain sesuai khalayak sasaran. Komunikasi CTPS (Cuci Tangan Pakai Sabun) di sekolah perlu didesain sesuai gaya, keinginan, persepsi, dan pikiran siswa sekolah.

Kebetulan sedang menulis buku Edukasi Kesehatan di Sekolah, dalam presentasi diketengahkan juga ide-ide utamanya seperti:
1) Kegiatan edukasi sebaiknya organik, masuk atau menyelip dalam kegiatan belajar mengajar sehari-hari, baik sebagai kurikulum maupun ekstrakurikuler, sehingga bisa sustained dan bukan model ajang khusus besar-besaran tapi hanya bisa dilakukan setahun sekali atau beberapa kali karena ketersediaan anggaran, waktu, dan/ atau tenaga.

2) Kegiatan edukasinya menyenangkan, baik bagi komunikator (misalnya, guru) dan juga siswa. Karena itu, yang perlu dibekali pada komunikator adalah aset-aset komunikasi (lagu, permainan, puisi, cerita, pantun, kuis atau tebak-tebakan atau skenario interaksi lainnya), yang dengan senang hati dipraktikkan guru. Baik saat guru bosan (untuk energizer) atau memang meng-khususkan pada edukasi kesehatan. Hanya menyiapkan pesan-pesan teknis kesehatan, meski didesain semenarik apapun, justru membebani guru karena mereka hanya mengandalkan ceramah sebagai metode edukasi dan itu membebani.

Kembali ke komunikasi PHBS.

Komunikasinya diperlukan tapi bukan ke publik. Tapi lebih ke urusan dalam. Urusan manajemen program, termasuk pengukuran sehingga dibutuhkan standarisasi. Atau urusan koordinasi lintas program, semisal dengan dinas terkait lainnya.

Karena urusan internal atau lintas sektor, medianya cukup surat, dokumen program, dan pertemuan. Jadi, tidak perlu baliho besar-besar yang berisi 10 pesan/ indikator PHBS.


Penulis: Risang Rimbatmadja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait