Kehabisan Pertanyaan

Kehabisan Pertanyaan

“Saya bingung mau tanya apa lagi. Kehabisan pertanyaan,” ujar seorang nakes menceritakan satu pengalaman kunjungan rumah.

Kemungkinan, kejadian kehabisan pertanyaan dialami karena komunikator selalu berposisi pihak yang bertanya. Sementara, warga berposisi sebagai responden. Nakes bertanya, warga menjawab. Seperti sesi wawancara dalam survei. Setelah stok pertanyaan habis, bingung.

Bandingkan dengan mengobrol bersama teman, teman lama yang baru bersua kembali. Apakah pernah stok pertanyaan kita habis?

Yang habis justru waktunya. Sejam dua jam tidak terasa. Sampai waktu memisahkan.

Yang terjadi bersama teman jelas berbeda. Tidak ada posisi penanya dan yang ditanya. Kita dan teman kita bergantian saling bertanya dan becerita. Cerita mengalir berkembang bahkan bisa bersambung dengan ke cerita lain. Kalau sama-sama bosan, loncat ke cerita lain. Kalau ketemu topik sensitif, kita pindah topik. Tapi, di saat berikutnya, kita bisa balik lagi.

Emosi pun saling terjalin. Kita ikut senang, kalau teman menceritakan pengalaman yang menyenangkan. Kita ikut sedih, kalau teman menceritakan hal yang menyedihkannya. Kita tertawa kalau ada cerita lucu. Kita merinding kalau ada cerita seram. Singkat kata, kita menikmati cerita dengan menaruh emosi di dalamnya.

Belajar dari ngobrol dengan teman, bagaimana caranya agar nakes atau kader tidak kehabisan pertanyaan saat berinteraksi dengan warga?

Anggap warga sebagai teman ngobrol. Jangan sebagai responden. Jadi, bukan hanya kita yang bertanya, tapi warga juga mesti bertanya pada kita. Justru kita mesti senang kalau warga bertanya.

Kadang memang kita mendapat tugas menanyakan sejumlah pertanyaan tapi jangan berlaku seperti interviewer survei. Kita bisa mulai dengan tanya-tanya hal-hal yang disukai warga (obrolan informal). Tanya-tanya hobinya. Lalu, nikmati ceritanya. Buat asyik.

Setelah panas, bilang aja mau bertanya-tanya seputar topik tertentu. Maka, keluarkanlah pertanyaan-pertanyan tugas. Tapi nanyanya santai saja, tidak usah berjarak seperti survei.

Kalau bosan, ngobrol lagi saja hal lain yang menyenangkan. Kalau sudah siap, masuk ke pertanyaan tugas.

Pokoknya dibuat asyik.

Kalau waktu terbatas, ya tinggal diatur saja. Yang jelas, lebih baik agak lama tapi asyik dari pada singkat padat tapi membosankan.


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait