“Apakah ada yang inovatif, misalnya komunikasi digital?” ujar rekan saat ditawari pelatihan KAP.
Maka bergelutlah saya dengan pikiran sendiri tentang ragam moda komunikasi manusia.
Memang sekarang ada komunikasi digital dengan platform media sosial, aplikasi, internet-based dll. Sebelumnya ada MMS, SMS. Awalnya hanya telephone. Sebelum itu, surat persuratan, cetak, atau yang berbasis tulisan. Sebelum-sebelum itu, komunikasi tatap muka langsung, fokus KAP.
Apakah semua itu variabel ordinal (urutan) dan saling menggantikan (substitutif)?
Dosen komunikasi saya, Pak Alwi Dahlan, pernah membahas ini di awal 90-an dan menyimpulkan semuanya itu komplementasi atau malah membuat kompleksitas dunia komunikasi Indonesia. Karenanya, butuh keterpaduan. Bukan seperti dipikirkan orang bahwa moda terbaru mengganti yang lama (saya pernah menuliskannya di sini https://s.id/1Qbrk ).
Masing-masing memiliki peran berbeda sesuai keunggulan masing-masing. Ada yang unggul dalam hal jangkauan untuk membentuk awarnesss, seperti media massa. Ada yang unggul dalam membongkar sikap atau normal. Yang penting, masing-masing mesti inovatif.
Jangan berkerangka berpikir seperti seorang rekan dalam pertemuan tentang imunisasi 3 tahun lalu. Dia komplain, “Kami sudah lakukan semua itu. Sosial media, sudah. Juga KAP, advokasi, media massa dan semua yang Anda sebutkan itu! Tapi, mana hasilnya?” ujarnya.
Waktu itu, respon saya: juara tinju pukulannya palingan cuma itu-itu saja. Jab, straight, upper cut, hook. Apalagi?
Petinju yang dikalahkannya juga. Tapi, jabnya juara dunia, beda keras, kecepatan, dan timingnya. Demikian pula pukulan lain dan kombinasinya.
Mereka serius latihan beratus ribu atau jutaan kali dengan pukulan-pukulan itu saja. Mencoba mencari inovasi-inovasi dengan pukulan-pukulan itu. Tak mencari jenis-jenis pukulan atau jurus baru.
Yang suka beragam jurus nan indah biasanya yang di arena seni/ eksebisi/ gaya dibanding petarung sesungguhnya. Contohnya di silat. Pesilat di kategori seni akan memperagakan banyak jurus. Tendangan tinggi. Muter-muter. Loncat. Meliuk-liuk. Yang penting indah.
Tapi kata, Bruce Lee, semua itu cuma buat film, tak berguna di pertarungan sesungguhnya.
Dalam pertarungan sesungguhnya, jurus-jurus yang dipakai ya itu-itu saja.
Malah, semakin jago lawannya, semakin sedikit jurus yang digunakan (yang dia pede dan lihai saja). Silahkan tanya ke petinju, macam Dok Basra. Kalau ketemu petinju yang lebih jago, mana berani keluarin kombo yang gaya-gaya.
Balik ke KAP. Mungkin pertanyaannya lebih baik menjadi: apa ada inovasi baru di-KAP-nya? Kan, buat lebih semangat.
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia