Jangan Serius Edukasi Pada yang Menolak (Imunisasi)

Sumber Foto: Basra Amru/ RCCE
Sumber Foto: Basra Amru/ RCCE

Diajak kawan mengisi sesi komunikasi antarpribadi untuk peningkatan penerimaaan imunisasi di Regional Immunization Champion Workshop (25/8/24, Graha IDAI Jakarta), pesan pertama yang tersampaikan adalah jangan terlalu serius berkomunikasi dengan orang tua yang menolak imunisasi.

Jangan terlalu serius. Jangan bombardir mereka dengan pesan penuh data, bukti riset, teori atau logika yang kuat.

Jangan juga mengejar-ngejar mereka untuk beradu argumen.

Santai saja. Semakin serius kita, semakin kita tidak didengarkan.

Orang yang menolak imunisasi tidak mau mendengar pesan tentang imunisasi. Mereka punya bias. Seperti mereka yang tidak suka jengkol, tentu tidak mau baca artikel tentang enaknya jengkol. Karena itu, di awal, jangan bicara tentang imunisasi.

Bicarakan saja hal lain yang menyenangkan atau yang menurut mereka penting. Jangan egois mengikuti agenda kita. Tapi ikuti agenda (apa yang penting bagi) orang tua.

Untuk edukasi dalam kelompok, langkah awal adalah membuat orang tua tertawa ketawa-ketiwi dan saling kenal supaya nyaman. Jangan sebut-sebut imunisasi karena akan memicu kecurigaan.

Langkah berikutnya, bicarakan masalah. Ajak mereka memahami masalahnya. Penyakit berbahaya yang sangat merugikan anak dan mudah menular. Membuat sakit berat, lumpuh, bahkan meninggal.

Jangan ujug-ujug menyodorkan solusi atau berjualan. Yang ideal, solusi itu datang dari orang tua. Misalnya, setelah membahas tentang kanker serviks, yang banyak membunuh perempuan, ada orang tua yang menyampaikan pandangan: “Karena itu, imunisasi HPV jadi penting!”

Yang kedua ideal, solusi disampaikan oleh orang tua setelah kita tanyakan. “Kira-kira, apa yang perlu dilakukan supaya anak-anak perempuan kita setelah dewasa nanti kebal virus kanker serviks?”

Yang ketiga ideal, solusi diselipkan di proses pembelajaran, misalnya dalam lagu yang dinyanyikan minimal 6 kali, dan kita tinggal tanyakan, “Menurut lagu tadi, bagaimana caranya mencegah kanker serviks?”

Pilihan terakhir adalah saat kita sendiri menyampaikan solusi tapi dengan meminta ijin terlebih dahulu. “Ibu bapak tahu bagaimana cara mencegah kanker serviks? Mohon ijin, boleh saya jelaskan?”

Ringkasnya, jangan terlalu serius karena orang yang menolak itu menutup pagarnya. Tugas pertama kita adalah mengajaknya membuka pagar. Dalam perspektif Komunikasi AntarPribadi (KAP), keakraban, kegembiraan, penghormatan, dan apresiasi adalah salah satu kunci pembuka pagar.

Dan kita tidak bisa memaksa orang membuka pagar hati dan pikirannya. Semakin dipaksa, semakin dikunci kuat. Wong, pagar-pagar dia, kok.


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait