Banyak masalah kesehatan terkait dengan pola makan tidak seimbang. Di antaranya, PTM (Penyakit Tidak Menular), seperti jantung, diabetes, stroke, darah tinggi, kanker, dll. Karena itu, edukasi publik tentang gizi seimbang menjadi krusial.
Terkait gagasan gizi seimbang, sebetulnya bagaimana publik memahaminya?
Survei UNICEF Nielsen di Q4 2024 bertanya pada 2000 responden di 6 kota besar di Indonesia tentang apa yang dimaksud dengan makanan bergizi seimbang. Hasilnya,
- Kebanyakan warga merujuk pada gagasan 4 Sehat 5 Sempurna (25%)
- Selebihnya, memberikan jawaban yang kurang pas
- Tidak ada yang menyinggung prinsip dasar gizi seimbang
4 Sehat 5 Sempurna perlu dilihat sebagai contoh intervensi SBC (Social Behavior Change/ Perubahan Perilaku Sosial) yang berhasil. Dicetuskan tahun 1955 oleh Prof. Poorwo Sudarmo, 4 Sehat 5 Sempurna terdengar atraktif dan hidup langgeng di masyarakat. Padahal, dunia akademik dan program/ kebijakan telah lama meninggalkannya dan mengganti dengan gizi seimbang.
4 Sehat 5 Sempurna telah menjadi artefak budaya lisan atau hasil buatan ataupun modifikasi manusia berbentuk lisan dan diturunkan turun temurun secara lisan pula. Bentuknya terdengar seperti peribahasa atau pepatah.
Di lain pihak, gizi seimbang, yang merupakan terjemahan konsep barat: balanced diet sulit dicerna warga. Dari survei tak ditemukan jawaban yang menyinggung 2 prinsip dasarnya, yaitu keberagaman kelompok jenis makanan dan kesesuaian porsinya dengan kebutuhan tubuh.
Salah satu masalahnya mungkin terkait dengan penggunaan istilah seimbang. Dalam perspektif awam, seimbang merujuk pada titik tengah antara dua elemen. Seimbang antara apa dengan apa? Dunia-akhirat, material-spiritual, kerja-istirahat, kiri-kanan, depan-belakang?
Dalam bahasa Indonesia, prinsip keberagaman jenis makanan, mungkin lebih mudah ditangkap dengan istilah lengkap/ komplit (mengandung semua jenis makanan). Sementara, porsinya yang sesuai kebutuhan tubuh mungkin lebih mudah diistilahkan dengan sesuai/ pas (dengan tubuh berdasarkan usia, berat badan, jenis kelamin dll).
Apapun, rasanya ini pelajaran agar kita lebih cermat merumuskan suatu konsep perilaku.
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia