Budaya Oral Menghambat Edukasi Kesehatan?

Budaya Oral Menghambat Edukasi Kesehatan

Dalam dua webinar berbeda terkait KAP (Poltekes Kemenkes Makassar & Stikes Banten) muncul satu pertanyaan sama: “Apakah budaya oral yang dianut banyak warga menghambat edukasi kesehatan?”

Kelihatannya, pertanyaan ini muncul gegara saya jelaskan asumsi dasar metode KAP.

Kita lebih menganut budaya oral dan bukan budaya baca. Budaya oral itu ngobrol, bercakap-cakap, ketemu langsung. Sifatnya sosial karena ngumpul-ngumpul alias mesti ada lawan bicara dan ada tata krama tertentu. Acap kali kurang rasional karena pakai perasaan alias emosi.

Sementara, budaya baca dewe-dewe alias individual. Tak perlu lawan bicara dan lebih rasional.

Ini menjelaskan mengapa siswa-siswa terbiasa bertanya pada temannya bila bingung dengan materi pelajaran, ketimbang membaca sendiri. Teman-teman yang ditanya pun tak ragu membantu (kalau menolak pasti dijauhi),

Ngumpul-ngumpul belajar bersama adalah hal biasa. Bukan hanya siswa SD, SMP, atau SMA, para mahasiswa pun suka melakukannya. Praktik ini jarang terjadi di masyarakat yang lebih kuat budaya bacanya (misal, di Barat).

Karena itu, banyak perpus di sini, utamanya jaman belum ada CCTV, ramai mahasiswa ngobrol belajar ketimbang yang hening, berkutat dengan bukunya.

Faktanya, kita memang tidak terlalu kuat dalam membaca. Rangking Indonesia untuk penilaian siswa usia 15 tahun di PISA (Program for International Student Assessment) di mana membaca salah satu komponennya adalah 68 dari 81 negara. Di PISA terakhir, tahun 2022, skor membaca malah berkurang 12 poin dari periode sebelumnya.

Balik ke pertanyaan di atas, apakah budaya oral menghambat edukasi kesehatan?

Jawabannya iya, kalau salah sambung. Misalnya, mengandalkan produk budaya baca ke masyarakat kita yang lebih budaya oral. Contohnya, mengandalkan buku KIA untuk meningkatkan pengetahuan, mengubah sikap, dan perilaku bumil.

Kalau bicara isi, buku KIA mengandung info lengkap terkait kesehatan bumil sampai anaknya balita. Kalau betulan dibaca, tingkat pengetahuan kesehatan masyarakat tentu tidak seperti saat ini.

Yang ada malah seperti ini: Waktu ditanya pewawancara 97% ibu hamil mengatakan buku KIA bermanfaat, tetapi saat didalami, 42% sebetulnya belum membacanya (Ika M Ulfa dkk., 2021).

Kalau nyambung, budaya oral justru mendukung, kok.

Misalnya, buat sesi membaca dan mengobrol buku KIA. Bisa dalam format kelompok maupun individual bersama nakes. Jangan yang kaku dan kering, tapi dibuat fun supaya si Ibu tertarik membaca buku di rumah.

Intinya, jangan sekedar dibagi-in kalau tidak mau dicuekin.


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait