Bagaimana jika 63% Warga Bersikap Fatalis dalam Kesehatan?

Bagaimana jika 63% Warga Bersikap Fatalis dalam Kesehatan

Saat hasil survei disajikan: 63% orang bersikap fatalis, yaitu memandang sakit adalah takdir dan tidak bisa dicegah, seorang rekan Promkes berguman, “Wah, habislah kita. Sia-sia edukasi yang kita lakukan.”

Edukasi yang dilakukan rekan-rekan Promkes adalah upaya pencegahan penyakit. Namun, kalau orang bersikap fatalis, dalam pengertian, memandang sakit itu ditentukan oleh Tuhan dan orang berbuat apapun untuk mencegahnya, apakah tugas Promkes sudah selesai?

Sebetulnya, hasil survei pada 2000 orang terpilih random yang dilakukan UNICEF-Nielsen di kwartal 1 2023, jangan diinterpretasikan seperti itu. Meski, dengan indikator model likert, ditemukan 63% orang memilih setuju atau sangat setuju pada pernyataan: sakit adalah takdir dan tidak bisa dicegah, namun dalam kenyataannya orang tidak hidup dalam satu realitas saja. Atau dengan kata lain, hanya tergantung pada satu paradigma saja.

Paradigma yang teosentrisme, yang berpusat pada kekuasaan Ilahi, yang cenderung membuat orang menjadi fatalis dan paradigma yang berpusat pada manusia (antroposentrisme) ada pada diri orang dan dalam kehidupan sehari-hari keduanya bisa saling berinteraksi. Orang tidak terbebas sama sekali dari dua paradigma itu.

Makanya, ada orang yang percaya Tuhan Maha Memutuskan dan upaya manusia, termasuk doa penting, untuk mendapatkan keputusan tertentu. Atau, upaya manusia itu penting untuk menentukan keputusan final dari Tuhan.

Mungkin saat “didesak” pertanyaaan survei, saat harus bersikap, orang akan cenderung memilih ke yang lebih dia percayai.

Seperti dalam masa krisis, orang lebih memilih yang lebih dia percayai, meski pilihan alternatif lain juga dia percayai (meski tidak sama kuatnya).

Jadi, dalam kasus 63% orang yang bersikap fatalis dalam kesehatan, bukan berarti realitas lain (yang berpusat pada manusia) tidak ada sama sekali. Hanya saja, lebih lemah. Dengan demikian, edukasi masih berpeluang untuk mempengaruhi perubahan perilaku pencegahan penyakit.

Untuk perubahan yang lebih mendasar, edukasi yang menyimbangkan poros Ketuhanan dan Upaya manusia menjadi penting.

Nah, untuk yang ini, saya setuju, bukan tugas Promkes lagi tapi para tokoh agama.


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait