Membicarakan Masalah Kesehatan Sensitif

Kegiatan edukasi imunisasi di Posyandu, Sumber: Dokumentasi  Jaga Bersama UNICEF Indonesia
Kegiatan edukasi imunisasi di Posyandu, Sumber: Dokumentasi Jaga Bersama UNICEF Indonesia

Ada masalah-masalah kesehatan sensitif yang orang enggan mendengarnya. Karena membuat malu, sedih, takut, khawatir, atau emosi lainnya. Membicarakan dengan apa adanya bisa berakibat fatal.

“Dari hasil pengukuran, anak ibu ternyata stunting.” (Hasilnya, bulan depan si ibu tak datang lagi ke Posyandu).

“Hasil tes menunjukkan Bapak positif TBC.” (Orang itu lalu menyangkal dan menolak berobat).

Kasus semacam itu bukan satu dua. Edukator kesehatan pasti pernah mengalami.

Untungnya, beragam pembelajaran sudah ada . Tak ada rumus pasti tapi cara-cara sbb bisa dicoba.

  1. Namai masalah dengan nama lain yang positif atau berbeda. Seperti TBC, karena sensitif, nakes menyebutnya dengan flek, paru basah, atau lainnya.

  2. Fokus ke manfaat perilaku sehat, bukan masalah. Dari pada menyebut kurus, gizi buruk, dll., sebut saja supaya anak pintar. Jadi, jangan bilang “Supaya anak Ibu tidak kurus lagi, maka…” tapi katakan “Supaya kepintaran anak ibu pol (maksimal), maka…”.

  3. Bangun senasib sepenanggungan. Orang lebih terbuka pada orang yang memiliki masalah sama. “Anak ketiga saya juga pernah berat badannya seperti Doni ini. Waktu ditinggal suami merantau, ngurus 3 anak sendirian. Ga kepegang. Capee sekali…”.

  4. Buat jadi masalah banyak orang. Intinya, jangan membuat orang bermasalah sendirian alias eksklusif. Kata orang barat,: you are not alone alias sampean ora dewean. Untuk yang ini, kita sering dengar: “Banyak yang mengalami…”; “Memang lagi musimnya ini”; “Di mana-mana ini….”.

  5. Cara-cara lain yang bisa dicoba terkait proses percakapan, seperti:

Connect before content alias bangun keakraban. Karena keakaban bisa menjadi grease, gemuk, atau oli pelumas mencegah gesekan saat membicarakan masalah sensitif. Orang jadi tidak mudah baper. Beragam teknik bisa dicoba, mulai dari penggunaan nama (nama lawan bicara, anak, gelar saat dewasa, marga, atau ngobrol arti nama), obrolan informal (topik yang disukai lawan bicara), cari simpul (pertalian bermakna), nyambung (mendengarkan), sentuhan, humor, dan lain-lain.

Zooming out atau membicarakan hal yang dipandang lebih besar atau prinsipil. Misalnya, membicarakan tentang pendidikan anak dari pada masalah obesitas. Namun, pada akhirnya, obsesitas akan dipahami sebagai masalah yang perlu ditangani.

Lima cara di atas hanya sebagian kecil teknik yang ada. Untuk belajar lebih banyak, kita mesti mendengar cerita para praktisi: rekan-rekan nakes, kader-kader, relawan, dan edukator kesehatan lainnya.


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait