“Saya khawatir orang-orang apalagi tokoh meremehkan kami. Memangnya kamu siapa? Bagaimana caranya agar mereka mau mendengarkan kami?” tanya seorang mahasiswa di pelatihan KAP.
Menurut suatu teori, agar orang mendengarkan, edukator mesti tampil percaya diri. Nonverbalnya mesti meyakinkan. Suaranya jelas dan lantang. Jangan terdengar bergetar-getar.
Pesan mesti meyakinkan. Dengan data yang sahih dan kredibel. Argumen kuat tanpa celah.
Tapi menurut KAP, edukator seperti mahasiswa itu jangan sok tahu. Mesti tahu diri. Mesti tahu menempatkan dirinya di masyarakat.
Sebagai anak muda, mahasiwa justru mesti menghargai orang dewasa apalagi tokoh-tokoh. Tokoh masyarakat adalah narasumber bagi orang untuk belajar. Makanya, mahasiswa justru mesti mendengarkan mereka. Jangan mengajari mereka.
Lho? Kok, malah mendengarkan? Kan, pertanyaannya cara membuat mereka mendengarkan.
Ini urusan strategi berkomunikasi.
Mahasiswa kan turun ke lapangan dalam rangka mengajak warga. Misalnya, mau mengajak minum TPT (Terapi Minum Obat TBC)?
Untuk mencapai tujuan, selaraskan upaya komunikasi dengan budaya setempat. Jangan sampai memicu penolakan instan (cepat). Kalau mahasiswa mengajari tokoh, jangan-jangan mereka bilang: memangnya kamu siapa?
Namun, bila mahasiswa rendah hati, berkonsultasi, minta arahan, tokoh masyarakat semangat mengajari dan bahkan memimpin aksi.
“Pak Kades, kan ada warga kita yang sakit TBC. Pak dokter di Puskesmas bilang, kalau satu kena, sebetulnya orang-orang di sekitarnya, yang tinggal serumah atau sering mengobrol mungkin sudah kemasukan kuman TBC. Cuma karena kondisi tubuhnya bagus, kuman-kumannya bisa dikepung oleh kekebalan tubuh. Jadi, sementara ini tak bisa merusak paru-paru. Tapi, kata para ahli, nanti kalau kondisi tubuh turun, kuman-kuman bisa menyerang. Makanya, pak dokter menyarankan agar orang-orang itu minum TPT. Semacam pil untuk membunuh kuman-kuman yang terkepung itu. Cuma kami bingung, belum punya pengalaman mengajak orang-orang di sekitar yang sakit TBC itu. Kami mohon arahan bapak, bagaimana caranya agar orang-orang sekitar yang sakit TBC itu mau minum TPT.”
Di atas adalah contoh komunikasi rendah hati, berkonsultasi, dan minta arahan. Karena menempatkan tokoh sesuai posisi dalam budaya yang berlaku, cara ini justru berpeluang memunculkan aksi dari tokoh masyarakat. Minimal, tidak menimbulkan penolakan atau keengganan yang instan.
Dan yang lebih asyik, strategi semacam ini membiarkan komunikator bersikap apa adanya. Tidak banyak tahu? Tidak percaya diri? Tidak apa-apa. Memang minta arahan, kok. Justru bagus karena komunikasi menjadi lebih alami.
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia