Advokasi Konfrontatif vs Harmonis

Sumber Gambar: Canva
Sumber Gambar: Canva

“Pak, masalah malaria ini tidak kalah penting dari stunting. Tapi selama ini, perhatian yang diberikan padanya kecil sekali. Tak heran, masalah tak kunjung selesai. Kami mohon agar mendapat perhatian lebih besar, Pak.”

“Pak, kami ingin ikut mendukung upaya bapak dalam pencegahan stunting, yang merupakan misi utama bapak. Dari survei terakhir, terlihat upaya bapak mulai menunjukkan hasilnya, ya. Ada penurunan 3%. Dari tim malaria, kami ingin membantu juga, pak. Bahkan ingin membantu lebih banyak. Karena malaria kan termasuk salah satu penyebab stunting. Menurut ahli, 1 episode malaria menghambat pertumbuhan anak sebesar 0,08 cm. Padahal, di sini anak bisa kena malaria berkali-kali. Mohon dukungan Bapak pada tim malaria agar kami bisa ikut mencegah stunting.”

Dua dialog imajiner di atas sama-sama ingin mengadvokasi pengambil kebijakan agar memberi perhatian pada satu masalah kesehatan.

Kira-kira mana yang lebih berpeluang diterima? Atau, kalaupun keduanya tidak diterima, mana yang lebih mulus mendarat di bapak pengambil kebijakan dan mana yang mudah ditolak mentah-mentah?

Bicara pengalaman pribadi, dialog model pertama bukan hanya sulit diterima tapi buat emosi.

Bayangkan saja. Orang sedang heboh-hebohnya menangani masalah A. Lalu, ada orang bicara masalah A kalah penting dengan masalah B. Walau mungkin ada sisi benarnya tapi merendahkan upaya yang tengah dilakukan membuat bete.

Makanya, metode KAP, yang berasal dari tradisi oral dan berinduk pada budaya komunal, tidak mengedepankan sikap konfrontatif. Setiap orang punya pemikiran dan pengalaman masing-masing. Bisa jadi orang itu sudah berusaha berdarah-darah.

Yang diutamakan adalah bersikap apresiatif dan harmonis. Tunjukkan dulu hal positif dari upaya yang sudah dilakukan orang. Lalu, selipkan agenda yang hendak diadvokasikan sebagai bagian dari agenda orang. Tunjukkan bahwa agenda kita adalah sesuatu yang mendukung agenda orang dan bukan kebalikan, mempertanyakan, mengurangi atau bahkan menggantikan.

Ini yang disebut sebagai advokasi harmonis.

Kalau mau agenda pinggiran masuk dalam agenda yang lebih besar, mesti tahu diri dan cari cara. Pelajari baik-baik agenda besarnya sehingga kita bisa paham pendekatan, kegiatan, hasil, serta hal-hal positif darinya.

Lalu, pelajari bagaimana agenda kita bisa mendukung agenda besar itu. Cari bukti. Bangun logika. Bisa juga cerita.

Lalu, sampaikan dalam pertemuan.

Hasilnya tidak selalu diterima. Bisa juga ditolak dengan beragam alasan. Tapi kita tidak buat bete. Orang masih senang. Artinya, masih ada kesempatan mengulang.


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait