Dalam tradisi kita, makan bersama-sama tidak pernah ditujukan hanya untuk kepentingan makan, urusan biologis, atau sekedar asupan gizi saja. Walau merupakan daya tarik penting, makan lebih banyak mengambil peran pendukung. Yang utama adalah perayaan hari-hari spesial, syukuran, musyawarah, penyambutan, kehadiran baru, perkenalan, solidaritas, atau yang lainnya. Makan tidak boleh diutamakan dari pada tujuan kumpul-kumpul itu sendiri, makanya mangan ora mangan sing penting ngumpul. Cara berpikir begitu selalu menempatkan manusia sebagai mahluk sosial – relijius dan bukan sekedar mahluk biologis, walau dalam urusan biologis sekalipun.
Cara berpikir tradisi makan bersama sebetulnya bisa digunakan untuk program makan gratis, yang saat ini tengah digodok. Intinya, memberi makan bukan demi sekedar urusan biologis seperti mahluk lainnya tapi makan sebagai peristiwa sosial relijius yang penuh interaksi.
Beragam tujuan interaksi makan Bersama bisa dirancang. Misalnya.
Makan untuk belajar tentang makanan. Edukasi gizi dapat menjadi agenda kumpul-kumpul dan makanan yang disajikan dibuat contohnya. Kegiatan edukasinya tentu saja mesti dirancang atraktif dan persuasif. Jangan berasumsi memberi makan bergizi begitu saja akan berhasil mengedukasi siswa. Edukasi mesti dibantu dengan cerita, permainan singkat, tanya jawab atau interaksi lainnya yang terencana.
Makan untuk membangun norma makan. Norma akan membentuk perilaku bersama. Kalau normanya adalah makan mesti ada sayur buah, maka terasa tidak sopan, kurang pantas atau bahkan ofensif dilihat orang kalau hanya makan nasi dan telur saja. Norma itu mulai dibentuk dari kumpul-kumpul. Untuk Generasi Alpha yang lebih otonom, tidak suka aturan, dan inovatif, norma sulit dipaksakan dari atas, apalagi untuk urusan makan, yang lebih personal. Membuka ruang partisipasi yang lebih luas dan mengedepankan keinginan-keinginan mereka, mungkin lebih pas.
Makan untuk kebersamaan. Kebersamaan di sini bukan kebersamaan fisik tapi lebih dari aspek emosi, pikiran, dan sosial. Kumpul-kumpul makan bersama dapat digunakan untuk menjalin keakraban, saling kenal, membangun toleransi, mengikis perundungan, menguatkan gotong royong, dan lain sebagainya.
Makan untuk bersyukur. Dalam tradisi kita, unsur agama selalu hadir dalam acara kumpul-kumpul. Maka, tidak ada salahnya makan gratis juga dijadikan ajang menguatkan hubungan dengan Maha Pencipta dengan jalan bersyukur.
Masih banyak tujuan lain yang bisa dicapai dengan program makan gratis, yang dilakukan bersama-sama. Dua tujuan interaksi pertama, belajar makanan dan norma makan, sebetulnya menguatkan tujuan makan gratis, yaitu peningkatan gizi siswa. Logikanya, program makan gratis sendiri tentu sulit memenuhi seluruh kebutuhan gizi siswa. Makanya, siswa perlu membawa pola makan bergizi dari sekolah ke kesempatan lain, yaitu di rumah atau pun saat membeli makan di luar rumah.
Sementara, dua interaksi terakhir lebih menyasar aspek sosial dan relijius, yang tidak kalah penting dalam kehidupan. Tubuh yang sehat tanpa kepedulian dan kecakapan sosial akan kontraproduktif. Apalagi bila ahlak tidak bisa diandalkan.
Empat tujuan interaksi di atas hanya contoh. Supaya makan gratis lebih dari urusan biologis.
WTC, 13 Agustus 2024 – RR
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia