Di WAG kader Posyandu, seorang kader, sambil berucap alhamdulillah, memamerkan fotonya. Dipanggung sedang memegang kuitansi seukuran poster. Terlihat jelas angka Rp. 500.000.
Sambil menerima ucapan selamat, ada juga pertanyaan dari rekannya,”Itu per bulankah, kak?”
“Bukan, itu untuk setahun,” jawabnya. Tapi, alhamdulillah, katanya, sebagai tambahan karena disamping itu, ada juga dana dari pemerintah desa.
Rasanya tak perlu dicari-tahu persisnya berapa karena jelas jauh di bawah UMR, standar legal bagi karyawan.
Karena itu pula, tak semestinya kader diperlakukan sebagai karyawan atau bawahan. Sekedar disuruh ini dan itu. Kumpulkan data ini itu. Ukur ini dan itu.
Hubungan dengan kader bukan hubungan struktural tapi kultural. Memotivasi di dalam kerangka hubungan kultural menuntut pendekatan berbeda. Berikut sekilas pengamatan terkait upaya nakes/ organisasi menguatkan hubungan kultural, yang bisa dipelajari lebih lanjut.
Privilege – hilangkan birokrasi
Di suatu Puskesmas, kader bila ingin memeriksakan diri, tinggal nyelonong masuk. Bahkan, ada nakes yang mengantarnya. Khusus bagi kader, prosedur dihilangkan. Nakes (baru) biasanya mempertanyakan tapi segera memaklumi ketika seniornya menjelaskan posisi kader. Ini membantu kader memiliki identitas diri yang kuat dan membuatnya lebih bersemangat.
Penerima info lebih dahulu
Saat pandemi kemarin, beberapa kader sering bertanya ke orang rumah, “Dapat [vaksin] booster itu di mana ya? Bagaimana caranya, ya?
Sementara di daerah lain, kader justru menjadi pihak pertama yang tahu info tentang vaksin.
Kasus pertama semestinya tidak boleh terjadi. Kader mesti menjadi pihak pertama setelah dinas kesehatan yang tahu kebijakan-kebijakan kesehatan. Bukan hanya penerima info, kalau memungkinkan, mereka boleh menjadi penerima layanan pertama (misalnya, kalau ada anak: Buku KIA terbaru). Dengan begitu, selain merasa bangga, mereka dapat menjadi sumber informasi rujukan bagi warga.
Modal sosial
Ada sejumlah daerah yang kader-kadernya hanya mengenal sesama kader di satu kelurahan/ desa, padahal sudah puluhan tahun menjadi kader dan setiap beberapa bulan sekali hadir di Puskesmas untuk bimbingan. Pembina para kader tampaknya lupa bahwa modal kerja kader itu bukan modal ekonomi tapi modal sosial. Konsep yang dipopulerkan bank dunia di awal 2000an ini merujuk pada koneksitas, saling percaya, dan aspek-aspek kultural lainnya yang konon dapat memberikan kemajuan ekonomi suatu wilayah.
Kader-kader mestinya dikelola dengan perspektif modal sosial, yang lebih kultural. Mereka mesti dikenalkan satu sama lain. Dibangun jaringan yang kuat dan menyenangkan, yang akan menguatkan identitas kader mereka atau bahkan memberikan side-job (siapa tahu ada yang berbisnis).
Dialog bukan instruksi
Di beberapa Puskesmas rekan nakes mengambil posisi dialogis bersama kader. Mereka tidak asal suruh ini itu, mendadak pula. Tapi lebih bertanya bahkan berkonsultasi. Pola demikian jelas menguntungkan untuk mengembangkan partisipasi kader.
Social recognition
Di beberapa daerah, kadinkes acapkali datang ke Posyandu. Kapus, pak camat, kedes, kadus juga sering bergabung. Bukan hanya lihat-lihat tapi mengobrol santai bersama kader. Interaksi demikian kelihatannya membangun semacam pengakuan sosial terhadap kerja kader. Mereka pun punya akses langsung ke pimpinan daerah. Pola seperti ini bisa jdi lebih kuat ketimbang social recognition model pemilihan satu atau beberapa kader teladan, yang justru menimbulkan kecemburuan.
Beberapa kegiatan lain yang potensial menguatkan hubungan kultural adalah hubungan pribadi nakes dengan kader yang bagus, saling mengunjungi antara kader-kader berbeda Posyandu, pertemuan kader (tapi yang menyenangkan selain mengedukasi, seperti Jambore).
Di luaran sana masih banyak cara lain yang sudah dipraktikkan untuk membangun hubungan kultural. Beragam karena mengikuti adat dan tradisi yang berlaku. Yang jelas bukan mengikuti instruksi.
Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia