Bila Sakit Hati Gegara Stunting

Bila Sakit Hati Gegara Stunting

“Ibu yang anaknya stunting tidak mau lagi ditemui. Bahkan, bantuan dia tolak.”

Cerita-cerita semacam ini mulai terdengar. Setiap ditanya, ini bagaimana komunikasinya?, saya balik bertanya dulu:

Adakah kata-kata atau tindakan kita yang membuat si ibu sakit hati? Sedih? Tersinggung? Malu?

Bila tidak ada respon, pertanyaan (retoris) lanjutan keluar.

Kalau anak kita disebut stunting, pendek, kerdil, apakah kita malu? Tersinggung? Apakah kita malu kalau tetangga, yang dekat dan jauh, tahu anak kita stunting, pendek, kerdil?

Pesannya, komunikator perlu lebih sensitif memanfaatkan bahasa. Tak perlu terjebak narasi program.

Istilah stunting, pendek, kerdil, otak tidak berkembang, tidak dapat disembuhkan, dan lain-lain adalah bahasa dapur atau back stage. Perlu dipahami mereka yang menjalankan program tapi bukan untuk dikomunikasikan pada orang tua, apalagi yang anaknya stunting.

Pada mereka, yang penting melakukan perilaku-perilaku yang diharapkan. Memberi ASI eksklusif, makanan bergizi seimbang, jaga kebersihan tangan, imunisasi, ke Posyandu teratur dll.

Kembali ke kasus. Kalau sudah terlanjur sakit hati, malu, atau marah, apa yang mesti kita lakukan?

Saran utama: bangun hubungan kembali. Tumbuhkan kembali trust.

Pertama, lepas urusan keprograman. Jangan dulu ngomongin perilaku-perilaku sehat ke orang tua itu. Apalagi menyebut-nyebut stunting. Datang saja demi bersilaturahmi. Kalau perlu, lepas baju seragam supaya kedatangan tidak terkait dengan program.

Kedua, minta maaf. Kalau menyakiti orang, ya minta maaf dong. Secara tulus, minta dimaafkan.

Ketiga, ngobrol. Tapi obrolan informal. Cari topik yang disukai lawan bicara. Yang jelas bukan tentang stunting, yang sudah membuatnya sakit hati.

Coba lihat-lihat sekeliling rumah. Kalau ada foto anak berseragam tentara, tanya-tanyalah. Siapa tahu itu anaknya. Tentu dia akan senang menceritakannya. Mungkin ada tanaman berjejer rapih? Tanya-tanya saja tentang tanaman. Atau tanya tentang kegiatan suaminya?

Bagaimana kalau si ibu sama sekali tidak mau menerima kedatangan kita?

Semangat. Masih ada cara lain. WA mungkin? Kirim kader untuk sampaikan pesan-pesan kita?

Yang penting proaktif. Dan dalam hati, tanamkan, ini bukan demi program. Ini urusan pertemanan.


Penulis: Risang Rimbatmaja, Spesialis Perubahan Perilaku UNICEF Indonesia

Artikel Terkait