Jakarta, 7 Oktober 2025 – Data Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukan 9,089 korban keracunan MBG di 83 kabupaten/Kota di 28 provinsi. Laporan ini disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR, 1 Oktober lalu. Ribuan anak menjadi korban akibat carut marut tata kelola dan kebijakan MBG. Anak yang seharusnya jadi sehat, malah sakit dan berisiko wafat.

Temuan lapangan, kritik dan rekomendasi untuk program MBG telah disampaikan banyak pihak termasuk Pokja MBG – CISDI, Gerakan Kesehatan Ibu Anak (GKIA), dan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), saat audiensi dengan Komisi IX DPR sebagai pengawas program MBG pada 22 September.

Forum RCCE (Risk Communication and Community Engagement) sepakat dengan semua poin rekomendasi yang disampaikan tentang evaluasi, perbaikan tata kelola, rancang ulang program, partisipasi warga, keamanan pangan, pemenuhan gizi sesuai pedoman Kemenkes dan pembatasan ultra-processed food dan makanan tinggi gula, garam, lemak (GGL) pada MBG.

Hari ini, 7 Oktober 2025, dalam Diskusi Perbaikan Pelaksanaan MBG yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan dan dihadiri oleh Menteri Kesehatan, Wakil Kepala Badan Gizi Nasional, Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), dan Deputi Badan Komunikasi Pemerintah, Forum RCCE hadir bersama perwakilan sejumlah organisasi masyarakat sipil antara lain Pandemic Talks, JPPI, GKIA, CISDI, dan lain-lain. Dalam pertemuan ini, Forum RCCE menegaskan kepada BGN pentingnya perbaikan pada tujuh poin berikut:

1. Partisipasi Bermakna Warga pada Seluruh Tahapan Program

Partisipasi warga, terutama anak, orang tua, guru, dan organisasi masyarakat sipil, harus menjadi elemen inti dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan/umpan balik, serta evaluasi MBG. Keterlibatan publik yang nyata akan memastikan program ini berjalan sesuai kebutuhan lokal, bukan hanya memenuhi target administratif atau serapan anggaran. Luarannya adalah Forum Dialog Pemerintah Pusat/Daerah dengan warga dan media secara rutin (setiap bulan).

2. Memperbaiki Komunikasi Publik MBG 

Tugas berat pertama BGN adalah mengembalikan kepercayaan publik terhadap program MBG. Pendekatan komunikasi yang perlu dilakukan sebaiknya adalah komunikasi kesehatan publik berbasis risiko dan empati, antara lain:

Sumber: Evaluasi Narasi dan Komunikasi Publik MBG – From Hope to Despair – Monash University, Indonesia)

3. Membuka Kanal Pengaduan Terbuka dan Akuntabel

Pemerintah perlu membangun kanal pengaduan, kritik dan saran publik yang mudah diakses, terintegrasi, dan dapat dipantau bersama, dengan jaminan perlindungan bagi pelapor serta transparansi pelacakan laporan. Kanal ini harus inklusif terhadap kelompok rentan seperti orang tua, warga buta huruf, dan mereka yang memiliki hambatan komunikasi agar setiap warga memiliki kesempatan setara untuk menyampaikan keluhan dan memperoleh keadilan.

4. Merancang Protokol Kedaruratan Insiden Keracunan

Protokol dirancang agar setiap insiden dapat ditangani dengan cepat sesuai standar untuk kepentingan terbaik anak dan Ibu (hamil dan menyusui) penerima manfaat MBG lainnya. Petugas puskesmas, sekolah dan SPPG dilatih untuk dapat melaksanakan protokol dengan benar. Protokol meliputi kanal pelaporan cepat, penanganan medis, pemeriksaan laboratorium (sample makanan, feses dan muntah), pembiayaan, dan surveilans KLB.

5. Menyediakan Informasi Pelaksanaan MBG Yang Mudah Diakses dan Terbuka Untuk Publik.

Sumber informasi menampilkan indikator utama program MBG, antara lain:

6. Memanfaatkan Masukan Berbasis Bukti dari Berbagai Pihak

Kami mendorong pemanfaatan hasil riset dan rekomendasi berbasis bukti, seperti yang disampaikan POKJA MBG – CISDI, GKIA, JPPI, UNICEF, WFP, Monash University Indonesia, dll. Pendekatan berbasis bukti (evidence-based policy) akan membantu memperbaiki tata kelola MBG agar lebih aman, efektif, dan tepat sasaran.

7. Melakukan Edukasi Higienitas dan Gizi Berbasis Komunitas

Program MBG harus dibarengi dengan edukasi rutin kepada warga, guru, dan pengelola dapur (SPPG) tentang prinsip higienitas, keamanan pangan, dan gizi seimbang. Edukasi juga perlu mencakup deteksi dini risiko pangan, yaitu kemampuan membedakan makanan layak dan tidak layak konsumsi. Pelatihan harus mengajarkan tanda-tanda makanan basi seperti perubahan aroma, warna, tekstur, rasa, atau munculnya lendir dan bau asam. Guru, siswa, dan pengelola dapur perlu dilatih untuk mengenali gejala tersebut, melaporkan temuan dengan cepat, serta menerapkan prosedur pemisahan dan pemusnahan makanan yang tidak aman. Kampanye edukatif berbasis warga akan memperkuat kesadaran kolektif untuk menjaga mutu pangan dan mengurangi risiko kontaminasi atau keracunan. Edukasi ini perlu dilakukan secara kolaboratif dan periodik, bukan hanya bersifat seremonial.


Tentang Forum RCCE

Risk Communication and Community Engagement (RCCE) Working Group atau Kelompok Kerja Komunikasi Risiko dan Pelibatan Masyarakat

Narahubung:

dr. Basra Amru

Mobile: +6287701091998

Email: rccecovid19.id@gmail.com

Fitur Aksesibilitas